Bilakah waktu yang tepat untuk kita bersilaturahmi?
Kepada siapa kita perlu bersilaturahmi?
Apa yang harus kita bualkan ketika bersilaturahmi?
Apa yang kita rasakan ketika bersilaturahmi?
Apa yang orang rasakan ketika kita mensilaturahmi dirinya?
Berapa kali dalam hidup kita harus bersilaturahmi?
Ada banyak perkara yang boleh membuatkan hidup kita lebih bahagia. Salah satunya adalah melakukakan silaturahmi. Silaturahmi dalam bahasa mudahnya adalah bertamu, bagi sebagian orang bahasa lainnya adalah menyiapkan topik perbualan yang panjang, sementara ada juga yang mengertikannya sebagai sarana atau alat untuk mempererat atau merapatkan tali persaudaraan satu sama lain.
Silaturahmi mungkin salah satu aktiviti sosial yang paling senang. Hanya berkunjung ke tempat tinggal seseorang dan bicara atau berbual dengannya. Pun agak mudah silaturahmi boleh juga dilaksanakan di pasar raya ataupun cafe tertentu. Manusia memerlukan interaksi antara manusia satu dengan manusia yang lain.
Ketika Allah SWT melarang fanatisme jahiliah (‘ashabiyah jahiliyah), hal itu kerana Allah SWT sesungguhnya melarang menjadikan fanatisme kesukuan sebagai pengikat di antara umat Islam, sekaligus melarang berhukum dengannya dalam hubungan antara kaum Muslim. Namun, Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim agar menjalin hubungan dengan keluarga serta berbuat baik kepada mereka. Imam Al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur sanad Thariq al- Muharibi bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tangan orang yang memberi [nafkah] itu tinggi [kedudukannya]. Mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian saudara perempuanmu, kemudian saudara laki-lakimu, kemudian yang dekat denganmu
dan yang dekat denganmu.”
Dari Asma’ binti Abu Bakar r.a., dia pernah berkata: “Ibuku datang kepadaku, sedangkan ia adalah wanita musyrik pada masa Quraisy (Jahiliah), karena mereka telah membuat perjanjian
dengan Nabi mengenai anaknya. Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Aku berkata, “Ibuku datang kepadaku, sedangkan ia ingin bertemu denganku.” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturahmi dengan ibumu.”
Islam telah menjadikan keluarga itu ada dua : (1) keluarga yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal dunia; (2) keluarga yang memiliki hubungan silaturahmi (dzawil arham). Mereka yang berhak mendapatkan warisan adalah orang-orang yang berhak mendapat warisan (ashhabul furudh) dan para ‘ashabah.
Sementara orang-orang yang memiliki hubungan silaturahmi (dzawil arham) adalah selain mereka; mereka tidak mendapatkan bagian dari warisan (ashhabul furudh), dan bukan pula para ‘ashabah. Mereka ini (dzawil arham), berjumlah sepuluh orang yaitu: (1) pak cik (saudara lelaki ibu); (2) mak cik (saudara perempuan ibu); (3) atok dari pihak ibu; (4) anak lelaki dari anak perempuan; (5) anak lelaki dari saudara perempuan; (6) anak perempuan dari saudara lelaki; (7) anak perempuan dari pak cik (saudara lelaki bapa); (8) mak cik (saudara perempuan bapa); (9) pak cik dari ibu; (10) anak lelaki dari saudara lelaki seibu; serta siapa saja yang menjadi keturunan salah seorang dari mereka. Allah SWT tidak menjadikan mereka berhak mendapatkan warisan dari seseorang sama sekali. Namundemikian, Allah SWT memerintahkan untuk menjalin hubungan silaturahmi dan berbuat kebaikan kepada keluarga secara keseluruhan.
Jabir RA. menuturkan bahawa Nabi SAW pernah bersabda: “Jika seseorang di antara kalian fakir, maka hendaklah ia memulai [nafkah] kepada dirinya sendiri; jika ia memiliki kelebihan,
hendaknya ia memberikannya kepada keluarganya; dan jika masih memiliki kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada kaum kerabatnya.” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).
Abu Ayyub al-Anshari RA juga bertutur demikian: “Seorang lelaki berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkanku ke dalam syurga?” Orang-orang berkata, “Ada apa dengannya, ada apa dengannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah Tuhan bersamanya?” Beliau melanjutkan, “Engkau
menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan solat, menunaikan zakat, dan menjalin silaturahmi.” (HR Bukhari)
Hadits ini memerintahkan silaturahmi. Tapi hadits tersebut dan hadits-hadits lainnya yang berkaitan dengan silaturahmi, tidak menjelaskan apakah silaturahmi itu kepada dzawil al-arham saja atau kepada setiap orang yang memiliki hubungan nasab (arham) dengan seseorang. Yang jelas, hadits-hadits itu bersifat umum, mencakup setiap orang yang memiliki hubungan silaturahmi; baik mahram maupun bukan; baik dari para ‘ashabah maupun dzawil al-arham. Mereka semua itu dapat dikatakan sebagai orang-orang yang memiliki hubungan nasab (arham).
Banyak hadits yang menyinggung silaturahmi ini, misalnya, sabda Rasulullah SAW berikut:
“Tidak akan masuk syurga orang yang memutuskan hubungan silaturahmi.” (HR Muslim, dari jalur sanad Jubair bin Muth’im).
Anas ibn Malik menuturkan bahawa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menghubungkan tali silaturahminya.”
Abu Hurayrah r.a. juga menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan makhluk. Tatkala telah selesai, bangkitlah rahim (tali persaudaraan) seraya berkata, “Di sinilah tempat orang yang menjaga diri dari keterputusan.” Allah SWT berfirman, “Ya, relakah engkau jika Aku akan berhubungan dengan orang yang menyambungkan diri denganmu dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan
denganmu?” Rahim menjawab, “Baiklah.” Allah SWT melanjutkan, “Itulah bagianmu.”
Setelah itu, Nabi saw bersabda, “Jika kalian mahu, bacalah olehmu ayat ini:
“Sekiranya kalian berkuasa, apakah kalian akan membuat kekacauan di bumi dan memutuskan hubungan silaturahmi dengan kerabat kalian?” (TQS Muhammad [47]: 22).” (Muttafaq ‘alaihi,
mengikuti lafal al-Bukhari).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Bukanlah orang yang menghubungkan tali silaturahmi itu adalah yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan tali silaturahmi itu adalah orang yang ketika diputuskan silaturahminya, dia menyambungkan kembali hubungan itu.” (HR Bukhari, dari jalur sanad Abdullah bin ‘Amr).
Nash-nash di atas semuanya menunjukkan dorongan untuk menjalin silaturahmi. Silaturahmi ini menunjukkan sejauh mana hubungan silaturahmi dan kasih sayang di antara komuniti Islam yang ditetapkan Allah SWT dalam hal menjalin silaturahmi dan tolong menolong di antara kerabat. Silaturahmi juga menunjukkan sejauh mana perhatian syariah Islam terhadap pengaturan pergaulan lelaki dan wanita, serta pengaturan segala hubungan yang muncul dan menjadi implikasi dari adanya pergaulan tersebut.
Wallahu'alam..
No comments:
Post a Comment
Syukran for your nice comment. Please leave your comment again!!! (^_^)