Penjajahan Mencengkam Dunia Kesihatan (FARMASI)

Alhamdulillah..

Hari ini first day sesi perkulihan bermula bagi 2009/2010. Segala prasarana pembelajaran serba baru even di kolej kediaman kerana telah mengalami renovation serta perabot-perabot bilik yang baru. Semangat dan azam yang baru. =)

Saya ke kampus seawal jam 7.15 pagi dengan menaiki bas UKM. Ketika tiba di BSH5, semuanya kelihatan baru. Juga pada anggapan saya telah dilakukan pengubahsuaian selaras dengan naiknya taraf Jabatan Farmasi kepada Fakulti Farmasi. Saya bersembang dengan sahabat saya berkenaan isu Influenza A (H1N1) memandangkan ada rakan kami yang terpaksa dikuarantinkan kerana telah menghadiri 8th Asia Pacific Pharmaceutical Symposium 2009 di USM, Pulau Pinang. Perbincangan saya dengan seorang sahabat berkisar mengenai bagaimana dan mengapa H1N1 melanda dunia sejurus selepas krisis ekonomi global menyerang dunia. Dan artikel ini adalah sebagai pencerahan kepada pembaca bagaimana isu H1N1 terkait dan mengapa hanya syarikat-syarikat ubat-batan tertentu sahaja yang mendominasi dunia farmasi khususnya.


Lebih dari 50 tahun, entah sedar atau tidak, negara-negara di Dunia Ketiga yang majoriti penduduknya Muslim menjadi ladang penjajahan negara-negara maju di bidang kesihatan. Atas nama kesepakatan internasional, negara-negara yang keadaannya lemah dan susah itu dipaksa tunduk dan taat terhadap kepentingan negara-negara maju yang dipimpin Amerika Syarikat.

Selama lebih dari setengah abad, 110 negara di dunia perlu mengirimkan spesimen virus influenza kepada WHO dengan alasan adanya Global Influenza Surveillance Network (GISN) atau jaringan pengawasan influenza global. “Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan lembaga yang sangat berkuasa tersebut,” kata Menteri Kesihatan Indonesia (Menkes).

Virus yang diterima GISN sebagai wild virus (virus liar) menjadi milik GISN. Virus ini kemudian diproses untuk risk assessment (penilaian risiko) dan riset para pakar serta pembuatan seed virus (benih virus). Dari benih virus inilah lalu dibuat vaksin dan kemudian dijual secara komersial ke seluruh dunia. Pembeli vaksin ini termasuk negara yang awalnya mengirimkan spesimen virusnya. Mereka tidak mendapatkan ganti rugi apa-apa, mcontohnya harga vaksin yang lebih murah. Harga vaksin sepenuhnya ditentukan oleh penghasilan virus yang semuanya bercokol di negara-negara industri kaya. “Harganya sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi semata. Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik,” kata Menkes dalam bukunya.

Cara serupa terjadi pada virus flu burung (H5N1). Ketika dunia heboh dengan virus yang membawa maut ini, WHO pun memperlakukan aturan yang sama terhadap negara yang terjangkiti virus tersebut. Korban pertamanya adalah Vietnam. Di negara inilah virus flu burung ditemukan pada manusia. Dengan kekuasaannya, WHO memaksa Vietnam mengirimkan contoh (spesimen) virus yang telah merenggut nyawa orang itu ke WHO Collaborating Center (WHO CC). Setelah itu negara pengirim ‘disuruh’ menunggu hasil diagnosisnya. Perlakuan apa terhadap virus itu selanjutnya, negara pengirim tidak tahu menahu.

Dalam kes Vietnam itu, tiba-tiba di dunia beredar vaksin flu burung yang diperjualbelikan dengan harga yang tak terjangkau oleh negara-negara berkembang. “Ketika rakyat Vietnam meninggal gara-gara flu burung, di depan mata pedagang kulit putih menawarkan vaksin dengan Vietnam Strain. Alangkah tidak adilnya dunia ini!” kata Menkes.

Awalnya virus H5N1 hanya menyerang Vietnam. Tahun berikutnya masuk Thailand dan Cina. Tahu-tahu virus ini pun menyusup ke Indonesia dengan korban pertama Iwan dan kedua puteranya. Tidak diketahui dari mana virus itu berasal. Yang jelas, virus ini lebih ganas dibandingkan dengan virus yang ada di negara lain. Dalam keadaan ini, kata Menkes, Pemerintah pun melakukan sosialisasi penyakit membawa maut ini dan menyediakan stok ubat Tamiflu (nama generiknya Oseltamir yang dihasilkani oleh Roche, salah satu perusahaan Amerika) dengan jumlah tertentu sesuai anjuran WHO.

Namun, apa yang terjadi? Setelah Pemerintah menyediakan dana, ternyata ubat Tamiflu itu telah habis dipesan oleh negara-negara kaya sebagai stockpilling (persediaan). Padahal negara-negara tersebut tidak mempunyai satu pun kes flu burung. “Ini kan tidak adil. Mereka tak punya kaes flu burung, tapi memborong ubatnya,” kata Menkes.

Awal tahun 2007, Indonesia dikejutkan dengan munculnya vaksin virus flu burung Strain Indonesia yang dibuat perusahaan Australia, CSL. Padahal Indonesia tidak pernah mengirimkan spesimen virus tersebut ke negara lain, kecuali ke WHO. Siasat punya siasatt, benih virus itu berasal dari WHO Australia yang mendapatkan virus flu burung Indonesia dari WHO CC.

Terbukti, WHO memang tidak bekerja untuk umat manusia. Organisasi ini bekerja untuk negara berkuasa besar dan industri-industri ubat multinasional. Bukti bagaimana organisasi kesihatan dunia ini bekerja untuk kepentingan Amerika boleh dilihat dari disimpannya seluruh data sequencing DNA virus flu burung WHO CC di Los Alamos, AS. Selama ini data-data virus itu hanya dikuasai oleh ilmuwan yang bekerja di Los Alamos. Ilmuwan lain di seluruh dunia tidak dapat mengaksesnya, meski adalah data dunia.

Los Alamos National Laboratory yang berlokasi di New Mexico tersebut berada di bawah Kementerian Energi AS. Di tempat inilah dirancang bom atom yang menghancurkan Hiroshima tahun 1945. Tempat ini menjadi tempat pembuatan senjata kimia dan biologi AS. Bukan tidak mungkin hasilnya nanti akan digunakan untuk menghancurkan negara yang dulunya pemilik virus, baik secara fizik dengan senjata itu sendiri, mahu pun secara ekonomi dengan memaksa suatu negara membeli produk-produk buatan mereka berupa ubat-ubatan.

Monopoli dan Penjagaan

Joserizal Jurnalis, Ketua Presidium Mer-C, mengatakan bahawa selama ini dunia dipenuhi ketidakadilan. Negara maju mendominasi negara lemah dengan sangat nyata. “Kalau masalah virus saja dahsyatnya seperti ini, bagaimana dengan persoalan kesihatan lainnya?” katanya.

Ia memiliki data bagaimana negara-negara yang majoriti penduduknya Muslim dipaksa membeli vaksin yang dihasilkan negara-negara maju dan dilarang membeli produk dari negara-negara Muslim. Termasuk salah satu yang dilarang adalah vaksin keluaran Indonesia yang dulu cukup laris di negara Dunia Ketiga.

Praktik monopoli kotor ini berlangsung lama tanpa dapat dicegah oleh Dunia Ketiga. Sebabnya, negara-negara maju selalu menggunakan lembaga internasional seperti WHO. Dalam soal vaksin, misalnya, 90% pasar vaksin dunia dikuasai hanya oleh sedikit perusahaan di negara maju. Perusahaan itu mendapat penjagaan pemerintahnya untuk memhasilkan dan mengedarkan produknya. Joserizal mengungkapkan, salah satu perusahaan vaksin terbesar ketika ini ternyata milik Donald Rumsfeld (mantan menteri pertahanan AS).

Penghasilan dan peredaran ubat di dunia kini dikuasai hanya oleh 15 perusahaan. Sembilan di antaranya adalah perusahaan AS seperti Pfizer, Merck, Bristol-Myers Squibb, Johnson & Johnson, Upjohn, Wyeth, Eli Lilly, Schering-Plough, Abbott, dan GlaxoSmithKline (GSK). Lainnya adalah perusahaan dari Sweden, Jerman, Perancis, dan Swiss. Keuntungannya sangat luar biasa, melebihi keuntungan perusahaan di sektor lain.

Perusahaan-perusahaan itu mampu bertengger di papan atas dan menguasai pasar ubat internasional kerana berlindung di balik hak kekayaan atas intelektual atau hak patent. Biasanya perusahaan ini mendapatkan hak patent ubat selama 20 tahun. Ertinya, tidak boleh ada perusahaan lain yang memhasilkan ubat sejenis, kecuali membeli lesennya.

Tidak aneh jika negara kaya memaksakan mekanisme TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) ke negera-negara berkembang dalam masalah ubat generik. Mekanisme ini mengharuskan perusahaan di negara berkembang membeli lesen dari perusahaan papan atas negara maju dengan alasan supaya tidak terjadi perlawan dalam bidang ubat-ubatan generik. Tidak cukup itu, perusahaan multinasional menuntut penambahan jangka waktu hak monopoli patent. Dengan sistem penjagaa seperti ini tidak mungkin perusahaan-perusahaan ubat di Dunia Ketiga memunculkan inovasi baru, kecuali hanya sebagai kepanjangan tangan perusahaan rausasa obat multinasional.

Di samping itu, WHO pun mengeluarkan standard layanan dan ubat bagi suatu penyakit. Tentu standard ini menggunakan acuan internasional, yang notabene negara maju. Dengan mekanisme ini, pemerintah negara-negara berkembang mahu tidak mahu harus memenuhi standard itu. Dari satu sisi, penyeragaman ini cukup baik. Namun, di sisi lain, penyeragaman itu hanya akan dipenuhi dengan membeli produk-produk perusahaan multinasional, baik peralatan medik mahupun ubat-ubatannya.

Munculnya organisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organisation) menjadi instrument pengokoh dominasi negara maju atas negara berkembang dan miskin. Organisasi ini tidak hanya mahu merampas kedaulatan ekonomi negara berkembang dalam sektor barang melalui GATT (General Agreement of Trade and Tariff), tetapi juga di sektorperkhidmatan melalui GATS (General Agreement on Trade Services). Dengan perjanjian ini, negara anggota WTO harus membuka pasarnya dalam hal barang dan perkhimatan. Dalam keadaan seperti ini, pasti negara berkembang tidak mampu bersaing.

Yang lebih aneh lagi, dalam keadaan tak berdaya, Pemerintah tidak mengambil langkah protective dalam melindungi industri dan layanan kesihatan dalam negeri. Malah muncul niat untuk menswastakankan sektor kesihatan. Hospital dan lembaga kesihatan lainnya perlu mampu berdiri sendiri tanpa bantuan Pemerintah. Pengelola layanan kesihatan tidak mampu lagi dan anya berfikir bagaimana memberikan layanan kesihatan maksimum kepada masyarakat, tetapi juga bagaimana mencari pemasukan bagi kelangsungan lembaganya.

Impak

Mekanisme internasional dan keadaan dalam negeri itu berimpak pada mahalnya layanan kesihatan dan harga ubat-ubatan di negara berkembang yang majoriti penduduknya Muslim. Bagaimana tidak mahal jika semua ubat harus dibeli dari luar negeri atau menggunakan lesennya? Belum lagi, banyak peralatan kesihatan harus diimport demi memenuhi standard internasional.

Wajar jika layanan kesihatan hanya mampu dinikmati oleh orang-orang yang berkemampuan. Tidak salah jika kemudian muncul istilah, “Orang miskin dilarang sakit”, kerana mereka tak akan pernah mampu membayar biaya kesihatan yang tinggi melangit. Apalagi banyak doktor yang sudah terjerat oleh perusahaan ubat dan berfikir materialistik untuk mengaut keuntungan yang sebesar-besarnya dari orang sakit. Lengkaplah sudah penderitaan kaum miskin.

Secara lebih luas, Dunia Ketiga semakin bergantung pada negara maju. Mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mandiri. Akhirnya, bangsa Dunia Ketiga hanya menjadi peristiwa jarahan bagi para penjajah untuk mengaut keuntungan kebendaan semata-mata melalui peraturan internasional di bidang kesihatan. Benarlah yang dikatakan Siti Fadilah Supari, “Saatnya dunia berubah!” Tentu berubah ke arah sistem Islam. [Mujiyanto]

Further readings : Revision Virology MBB , Outbreak Timeline , Selsema Babi-Suatu Analisis

2 comments:

  1. Salam

    Selamat Menjalani sem baru dengan jayanya..
    Semoga azam yang berkobar itu membawa kejayaan yang berpanjangan buat Shira..

    InsyaAllah... (^_-)

    ReplyDelete
  2. Wslm,

    Buat Nabila juga..
    Semoga sentiasa memperoleh keberkatanNya. Ameen..

    (^_^)

    ReplyDelete

Syukran for your nice comment. Please leave your comment again!!! (^_^)

 

Copyright © 2013 | Wanita Mustanir | by Cik Bulat