Di dalam politik tidak ada musuh abadi dan kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Itu menurut sebahagian orang yang menganut aliran pragmatisme (waqi’iyyiin), yang menjadikan realiti/fakta sebagai sumber hukum dan bersedia menggadaikan keyakinan/ideologinya untuk mencapai tujuannya; bukan menjadikan keyakinan/ideologinya sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dan diwujudkan, meskipun harus mengubah realiti/fakta.
Adakah benar bahawa Islam membolehkan wanita menjadi pemimpin negara? Atas sebab apa yang membuat para politikus muslim bersikap pragmatis dan dengan mudahnya menanggalkan pendapat-pendapat sebelumnya dengan dalih remeh dan maslahat?
Yang Haram Sudah Jelas!
Di dalam ajaran Islam, sesuatu yang halal (dibolehkan) dan sesuatu yang diharamkan sudah amat jelas. Sebab selalu disertai pernyataan-pernyataan (nushush) syar’iy, yang menjadi argumentasi paling meyakinkan bagi seluruh umat Islam. Sebahagian dari berbagai perkara yang sudah amat jelas itu antara lain larangan seorang wanita menjadi pemimpin (penguasa). Perkara ini sudah demikian jelas dan tegasnya sehingga masuk kategori ma’lumun min ad-din bi ad-dlarurah (perkara yang sudah lazim diketahui begitu saja oleh kaum Muslim).
Diriwayatkan dari Abi Bakrah yang berkata :
"Sungguh Allah SWT telah memberiku manfaat dari kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah SAW pada saat perang Jamal, setelah semula hampir saja aku mengikuti tentara Jamal (dipimpin oleh ‘Aisyah yang mengenderai unta) dan berperang di pihak mereka." Lalu ia melanjutkan : "Ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahawa bangsa Persia telah mengangkat puteri Kisra sebagai Ratu, beliau bersabda : ‘Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan/pemerintahan mereka kepada seorang wanita."
Pemberitaan Rasulullah SAW bahawa suatu umat tidak akan memperoleh keberuntungan apabila mengangkat seorang wanita sebagai penguasa merupakan larangan untuk mengangkat seorang wanita sebagai penguasa. Pemberitaan tersebut termasuk di antara bentuk-bentuk thalab (tuntutan hukum). Kerana bentuk pemberitaan itu mengandung dzamm (celaan), ini menjadi indikasi yang menunjukkan adanya larangan secara tegas.
Larangan pengangkatan seorang wanita sebagai penguasa juga bersifat khusus, yaitu berkaitan dengan perkara pemerintahan. Tidak bersifat umum, mencakup segala sesuatu. Sebab yang disinggung dalam hadits diatas adalah pengangkatan putri Kisra sebagai ratu.
Maka, sungguh sangat menghairankan sikap para politikus muslim yang dengan mudahnya mengubah begitu saja pengertian-pengertian nash, dengan dalih darurat, atau nash hadits tersebut bukan lagi masalah serius. Apakah ada persoalan yang lebih serius dari disimpangkannya pengertian-pengertian nash, atau dimudahkannya nash, sehingga nash tersebut ditinggalkan begitu saja, tidak diterapkan sama sekali?!
Maslahat/Kepentingan Bukan Dalil Syar’iy
Seorang muslim, siapapun dan di manapun dia berada, sentiasa terikat dengan hukum-hukum Islam. Tindak-tanduknya tidak pernah bebas dari kepungan dan keterikatannya sebagai seorang muslim terhadap syariat Islam. Dan wajib baginya untuk selalu terikat dan menjalankan hukum-hukum Islam tersebut. Hanya muslim yang sudah mati saja, bebas dari keterikatannya terhadap hukum Islam.
Hukum Islam yang menyangkut taklif untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan, ada lima (biasa dikenal dengan ahkaamul khomsah). Suatu perkara yang termasuk kategori wajib, sehingga kita harus menjalankannya, maka kefardhuan perkara itu diberikan kepada kita agar kita menjalankannya, tanpa mempertimbangkan lagi hasilnya, apakah mendatangkan maslahat atau mendatangkan mudharat. Begitu pula dengan perkara yang masuki kategori haram, sehingga kita harus menjauhkan/meninggalkan perkara tersebut, maka keharaman perkara itu diberikan kepada kita agar kita menjauhkan/meninggalkannya, tanpa mempertimbangkan lagi hasilnya, apakah mendatangkan mudharat, atau malah mendatangkan maslahat. Juga suatu perkara itu masuk kategori mubah, kerana merujuk pada dalil (nash) yang telah memubahkannya, bukan karena adanya maslahat.
Jadi, seorang muslim menjalankan suatu perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan, semata-mata berlandaskan hanya kepada nash-nash syar’iy saja. Bukan kerana pertimbangan lainnya. Itulah sebabnya hukum halal, haram, wajib, dan sebagainya yang merujuk kepada nash-nash syar’iy bersifat abadi, tidak pernah berubah!
Unsur-unsur maslahat dan mudharat tidak boleh dijadikan pertimbangan untuk merubah, melalaikan, meremehkan, atau mencampakkan sebuah hukum Islam. Kerana pertimbangan maslahat atau mudharat yang berasal dari akal fikiran manusia itu sangatlah lemah dan terbatas sifatnya. Adakalanya suatu perkara dianggap oleh sebahagian orang sebagai maslahat, tetapi untuk sebahagian orang lainnya malah mudharat. Kadang-kadang suatu perkara pada suatu waktu dianggap maslahat, tetapi di waktu lain atas perkara yang sama, malah dianggap mudharat. Begitu juga sebaliknya. Oleh kerana itu, selama perbuatan manusia dilandaskan kepada maslahat atau mudharat yang bersifat aqliyah, maka tidak pernah ada hukum yang tetap (fixed). Ia menganggap bahawa sesuatu yang disukainya dan mendatangkan keuntungan sebagai maslahat, dan sesuatu yang dibencinya kerana menghasilkan kerugian sebagai mudharat. Firman Allah:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. Al Baqarah [2]: 216)
Yang mengetahui secara hakiki bahawa suatu perkara itu mengandung maslahat atau mengandung mudharat hanyalah Allah SWT. Dialah yang memberikan kepada kita syariat Islam, berupa hukum yang 5, iaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Keterikatan kita kepada hukum yang lima itu tidak boleh dilandasi kepentingan-kepentingan maslahat atau mudharat.
Bagi kita seorang muslim, apabila Allah SWT dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara, maka tidak boleh bagi kita untuk menimbang-nimbang lagi maslahat atau mudharatnya perkara itu. Yang kita lakukan adalah menjalankannya, atau meninggalkannya, lain tidak. Firman Allah SWT:
"Dan tidaklah patut bagi lelaki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsipa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al Ahzab [33]: 36)
Dengan demikian sikap para politikus muslim yang membuat pakatan dengan parti-parti politik lain yang jelas-jelas sekuler, atau memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, terlebih lagi mereka mengetahui bahawasanya hukum-hukum itu benar adanya, dan mereka yakini pada masa sebelumnya, namun kerana terdapat kepentingan politik mereka rela menanggalkannya, merupakan sikap hipokrit, dan terlumuri sifat-sifat Machiavelis, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Sikap dan sifat semacam ini merupakan kelemahan dan ketidakberdayaan seorang muslim terhadap sistem kufur yang telah mengepung dan menimpa mereka, sehingga tidak ada cara lain bagi mereka selain berkompromi dan menyelaraskannya sesuai dengan keadaan yang ada. Akibatnya, nilai-nilai Islam dan hukum-hukumnya ditinggalkan, dengan dalih maslahat, atau terpaksa.
Teguh pada Pemikiran dan Metode Islam
Islam memiliki fikrah (pemikiran-pemikiran) mahupun thariqah (metode-metode). Begitu pula Islam itu terdiri dari aqidah dan syariat. 2 perkara itu tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya. Apabila seseorang beriman kepada Allah, maka konsekuensinya juga wajib terikat dan menjalankan hukum-hukum Allah itu. Juga seorang muslim yang terikat dengan hukum-hukum Islam harus selalu diarahkan motivasi pelaksanan amal perbuatannya itu hanya kepada Allah saja.
Sayangnya, sebahagian kaum muslimin saat ini dalam mensikapi sesuatu atau menjalankan aktiviti tertentu telah terseret oleh metode analogi akal (qiyas ‘aqli), yang tidak didasarkan pada indikasi-indikasi syariat (ammarah) atau ‘illat syar’iyah. Dalam pandangan mereka, syariat Islam itu secara keseluruhan bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maka menurut mereka, apapun yang dapat menjaga lima perkara tersebut, termasuk pada kewajiban yang dituntut oleh syariat, meskipun tidak didasarkan secara langsung pada hukum itu sendiri, atau tidak digali dari ‘illat syar’iyah, boleh diputuskan. Mereka hanya menyandarkan pada tolok ukur akal yang bias menjangkau maslahat atau mudharatnya suatu perkara; atau melakukan analog hanya kerana adanya kemiripan pada perkara lainnya.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak dibenarkan dan tidak berdasar sama sekali. Setiap argumen atas suatu perkara atau atas suatu perbuatan, hanya boleh ditentukan berdasarkan nash-nash yang syar’iy. Imam Ali ra, mengecam orang yang menggunakan akalnya, dan mengabaikan nash-nash syar'iy yang telah jelas dalam kata-katanya : "Seandainya agama ini ditetapkan dengan qiyas (analogi akal), sungguh mengusap alas kasut adalah lebih utama berbanding mengusap belakang (kasut)nya."
Berdasarkan hal ini, seorang muslim wajib mengikatkan dirinya hanya dengan pemikiran-pemikiran Islam dan hukum-hukum Islam. Tidak dibenarkan ia terpengaruh, apalagi melakukan kompromi dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum kufur.
Gagasan atau pemikiran Islam sudah seharusnya memperoleh perhatian yang utama bagi sebuah jemaah atau parti politik Islam. Pemikiran Islam harus dipandang sebagai kebenaran yang wajib diyakini oleh setiap manusia; sebagai petunjuk yang dapat menyinari setiap orang yang dibimbingnya; sebagai rahmat yang diberikan Allah kepada para hamba-hambaNya; sekaligus sebagai cahaya yang mampu mengeluarkan manusia dari kegelapan hawa nafsunya.
Sebuah jemaah atau parti politik Islam sudah selayaknya memiliki sejumlah sifat yang menjadikannya mampu mencapai tujuan. Sifat-sifat itu antara lain: kejelasan pemikiran-pemikirannya, semangat untuk mencapai tujuannya, upaya mempersiapkan kelompok yang tercerahkan dan mempersiapkan umat, serta komitmennya terhadap berbagai hukum Islam yang terkait dengan metode (thariqah) dalam merealisasikan gagasan (fikrah). Dengan kata lain komitmennya terhadap ideologi Islam.
Jemaah atau parti politik Islam sudah seharusnya memiliki gambaran atas jalan yang akan dilaluinya, mempunyai jalan lurus yang diperolehnya dari penggalian nash-nash syar’iy. Bukan jalan yang penuh liku, yang justeru akan menjerumuskannya ke dalam ‘neraka’ yang dibuatnya sendiri. Untuk itulah, mereka iaitu jemaah dan parti-parti politik Islam sudah selayaknya mengatakan kepada manusia, sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya, ini adalah jalanku yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah jalan ini, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain yang akan mengakibatkan kalian terlepas dari jalan Allah." (QS. Al An’aam [6]: 153)
Maka, bersikap tegaslah. Dan jangan bersikap hipokrit, atau berjiwa Machiavelis!
Nota : Diambil dari Al-Islam Edisi 47 dan telah diedit mengikut keadaan politik Malaysia. Harap maklum. Wallahualam.
No comments:
Post a Comment
Syukran for your nice comment. Please leave your comment again!!! (^_^)